Berdiri di depan kelas. Mata merem, sambil ngingat-ngingat angka yang dihafal tadi malam.
"Sembilan kali dua delapan belas..., sembilan kali tiga dua tujuh..., sembilan kali empat tiga enam..."
Itu yang saya teriakkan ketika SD kelas empat tahun 1989.
Serba Dihafal
Waktu itu, daftar kabinet pun harus dihafal satu persatu. Nama Harmoko, Sudarmono sangaat fenomenal.
Apalagi ketika sedang nungguin filem setelah Dunia Dalam Berita. Namun tiba-tiba batal karena ada "Laporan Khusus".
Era Print
Masih segar dalam ingatan. Ketika SMA tahun 1995. Buku jadi sumber utama buat belajar. Sampai harus nyari ke Palasari untuk cari buku pelajaran. Kalau gak punya buku, yaa kahirnya nyari di perpustakaan.
Perpustakaan Daerah jadi seperti googlenya zaman sekarang. Harus punya kartu anggota kalau mau minjem dan dibawa pulang.
Otak Kerja Keras
Ngerasa gak?
Waktu itu otak dipaksa harus bisa nyimpen semua informasi. Setiap yang dibaca, dilihat, dan didengar harus tersimpan dalam memori otak.
Era Print atau masa ketika semua informasi dalam media yang dicetak. Buku, majalah, koran. Semuanya bentuk informasi yang dicetak diatas kertas.
Giimana dengan Sekarang
Jauh banget. Informasi bisa diakses dengan cepat, mudah dan dekat. Tidak hanya diujung jari, tapi informasi disodorkan dalam layar digital yang kita genggam. Informasinya singkat. Langsung ke point inti.
Kondisi ini jadi tantangan besar buat generasi sekarang. Cara otak bekerja beda dengan zaman dulu. Perilaku belajar pun tidak sama dengan Era Print yang dulu saya alami.
Apa lagi yang akan terjadi di masa depan ? Apa yang harus disiapkan ? Apakah mungkin mesin akan mengendalikan kita ?
Saya jawab di tulisan lain "Di Era Apa Kita ?"
Salam Inovasi, Salam implementasi.
~☺~

Posting Komentar