Jogjakarta, sihir Jawa yang tak lekang oleh waktu, adalah saksi bisu malam pertama keluarga kami menginjakkan kaki di kota Jogjakarta. Saat senja perlahan menyerahkan langit pada gemintang, kami bersiap mengukir memori tak terlupakan, dengan menyambangi Tugu Jogjakarta.
Tugu Jogjakarta: Malam Penuh Misteri
Di bawah langit yang mulai berbinar, siluet Tugu Jogjakarta terasa begitu gagah dan misterius. Kami terpaku pada monumen bersejarah yang berdiri kokoh, menyuarakan kejayaan masa silam. Berfoto ria menjadi agendanya, sekaligus mengabadikan senyum keluarga tercinta dengan latar kilau lampu malam yang menjadikan Tugu semakin megah.
Kebon Ndalem Coffee and Eatery: Sajian Lezat dengan Pemandangannya
Tak jauh dari Tugu, kami selangkah menuju Kebon Ndalem Coffee and Eatery. Resto yang bergaya klasik ini sempurna untuk meneruskan malam. Kami memilih duduk di area outdoor, di mana pemandangan Tugu Jogjakarta di malam hari tampak sempurna. Sambil menyantap hidangan istimewa, kami seperti diajak menikmati sejarah yang dipadukan dengan kesegaran kopi hitam yang menyejukkan hati.
Menyelami Sejarah Tugu Jogjakarta
Sambil melepas lelah, rasa penasaran akan sejarah Tugu mulai merebak. Berbagai cerita dari masa Sultanate Yogyakarta mengalir dalam obrolan. Tugu yang kini berdiri tegak ini ternyata telah mengalami beberapa kali renovasi akibat gempa bumi yang kerap melanda. Tak hanya itu, tugu ini di masa lalu merupakan penanda lurusnya jalur antara keraton, Tugu, hingga laut selatan, yang konon memiliki nilai mistis.
Awal Mula yang Megah (1755):
Pada tahun 1755, Sri Sultan Hamangku Buwono I dengan gemilang membangun Tugu Yogyakarta, menandai keberanian pendiri Keraton Yogyakarta. Tugu ini bukan sekadar bangunan; ini adalah garis ajaib yang menghubungkan Laut Selatan, Keraton, dan Gunung Merapi.
Golong-Gilig, Makna Persatuan.
Semangat Manunggaling Kawula Gusti, atau yang dikenal sebagai golong gilig, terpancar dari setiap jengkal Tugu. Tiang yang bergaya gilig (silinder) dan puncak yang memukau berbentuk golong (bulat) memberi gelar "Tugu Golong-Gilig." Ini lebih dari sekadar bangunan; ini adalah cermin semangat rakyat bersatu melawan penjajah.
Transformasi dan Gempa Besar (1867).
Namun, pada 10 Juni 1867, datanglah gempa besar yang mengguncang Yogyakarta. Tugu gagah itu runtuh, dan dalam kehancuran itu, ia memasuki fase transisi. Makna persatuan tampak hilang, namun tidak untuk selamanya.
Renovasi Belanda (1889).
Pada 1889, pemerintah Belanda mencoba mengubah nasib Tugu. Dalam renovasi megah, Tugu berubah menjadi bentuk persegi dengan prasasti menghiasi setiap sisinya. Dikenal sebagai De White Paal atau Tugu Pal Putih, ketinggian 15 meter menandai perubahan yang signifikan, meskipun lebih rendah dari sebelumnya.
Taktik Belanda Gagal.
Renovasi itu sebenarnya adalah taktik Belanda untuk memecah persatuan rakyat dan raja. Namun, perjuangan tak terelakkan dari rakyat dan raja Yogyakarta membuat taktik itu gagal. Tugu tetap kokoh, memperlihatkan empat bentuk fisik yang menakubkan.
Simbolisme dan Kecantikan (Sekarang).
Tugu, dengan ornamen dan simbol Jawa yang menghiasi setiap sisinya, membuktikan ketahanan budaya. Terdapat tulisan Jawa yang memperkaya kisahnya. Warna cokelat hitam dan emas menciptakan harmoni yang mempesona. Geometri balok, prisma, dan untiran menambah pesona, seperti kuncup yang indah.
Dengan setiap detik yang berlalu, Tugu Yogyakarta tetap menjadi saksi perjalanan sejarah dan semangat kebersamaan yang tak terkalahkan.
Posting Komentar